***
Hari masih gelap, tapi di luar sedang hujan deras, sangat deras. Seperti derasnya air mata yang kini turun dengan cepat. Disini sunyi, hanya detakan jam yang menunjukkan bahwa masih pukul 4 pagi. Aku tak bisa memejamkan mata dari semalam. Kejadian yang berlangsung beberapa jam lalu masih terekam jelas dalam otakku.
Aku, terdiam dalam keremangan ini. Menyusuri setiap sudut kamar yang tak pernah berubah sejak aku menempati kamar ini. Sejenak terlintas sebuah pemikiran untuk mengobrak-abrik kamar ini. Mungkin dengan itu aku akan dapat merasakan suatu sensasi kepuasan.
‘Klik’ bunyi itu terdengar keras mengagetkanku. Ku lirik layar Laptop yang sedang menyala. Aku memang begitu jarang sekali mematikan Laptop, membiarkannya hidup dalam waktu yang lama. Entah sejak kapan kebiasaan itu bermulai. Tak pernah ada yang menegurku, karena memang keluargaku tak pernah ada orang yang memasuki kamarku selain Tante Angel, dan aku sendiri tentunya.
Aku, melangkah mendekati Laptop yang tergeletak di atas meja belajar berwarna coklat tua itu. Ku tarik kursi yang yang biasa aku duduki jika sedang berkutat dengan Laptop, atau sedang mengerjakan PR.
Dia disana, dengan beberapa kata singkat. Kata yang sudah cukup menggantikan perasaan yang sejak tadi bergejolak tak menentu menjadi sebuah perasaan aneh, yang aku sendiri terheran-heran.
Rain : Hi little girl.. :)
Sh_iLLa : Little girl?? LOL
Rain : Are you dislike with the new call for you??
Sh_iLLa : Um, I think it’s better than the previous “whiny girl”
Rain : Haha, you still remember it.. I’m so sorry, for mocking you at the time..
Sh_iLLa : But you’re right, I am a whiny girl :(
Rain : Why do you talk like that?
Aku terdiam menatap layar Laptop. Sedikit menghela nafas, lalu mengetikkan kalimat balasan yang entah berapa kali aku hapus. Namun akhirnya ku kirim juga kalimat itu.
Sh_iLLa : Cause I’d been crying..
Rain : Maybe, you can tell your problem to me.. But, it also if you want
Sh_iLLa : Are you serious??
Rain : Of course little girl :)
Aku memejamkan mata sejenak, menguatkan diri untuk menceritakan kejadian semalam. Walaupun mungkin aku hanya akan menceritakannya secara singkat. Aku berharap mendapatkan sedikit kelegaan, dengan menceritakan hal itu terhadap Rain. Sang sahabat dunia maya, yang tak pernah bosan mendengarkan curhatanku ini.
Sh_iLLa : I can’t sleep since last night, I am very restless. And the cause of my restlessness is Alvin.
Sh_iLLa : Are you still remember him?
Rain : Yeah. He is your first love, isn’t it? What’s wrong with him?
Sh_iLLa : Yup. Now, he has a relationship with my best friends, Ify.
Rain : What??? How can???
Pertanyaannya tak bisa ku jawab. Aku sendiri tak pernah memimpikan bahwa pada akhirnya Alvin dan Ify akan menjalin sebuah hubungan asmara. Pertanyaan yang diungkapkan Rain, adalah pertanyaan yang juga menghantuiku semalaman ini. Pertanyaan yang hanya bisa di jawab oleh Alvin dan Ify. Bukan aku!
Sh_iLLa : I don’t know the cause.
Sh_iLLa : Ify told me that she has related with Alvin.
Sh_iLLa : I saw them having dinner last night. Accidentally, I’m having dinner with my family at the same restaurant.
Sh_iLLa : Do you know? I’m very shock!!
Rain : Be Patient Shilla… There still many stock of boys in this world :)
Sh_iLLa : I know that!!! But I love him Rain…
Rain : Are you sure? I think you don’t love him
Sedikit terkaget saat membacanya. Apa maksud Rain mengatakan hal itu?? Sudah sangat jelas aku mencintainya. Setiap malam yang ada di mimpiku adalah dia. Aku selalu merasakan euphoria aneh saat berada di dekatnya. Dan aku tak pernah bosan untuk memandangnya.
Sh_iLLa : What?!! How can you conclude that??
Rain : Based all of your story about Alvin, I’ve ever heard
Rain : You just admire him, not more.
Sh_iLLa : No… You’re wrong.. I love him Rain.. Maybe I am admire him too, but also love him very much..
Sh_iLLa : Please understand me…
Rain : Okay, I will try. But, first I want to ask you something.
Rain : What’s wrong if Alvin and Ify has a relationship? Instead, Ify is your best friend.. and Alvin is someone that you love.. you should be happy, 2 people that you loved have related.
Apakah dia tidak mengerti keadaanku? Aku sekarang terluka. Aku tak bisa menyangkal bahwa aku sedih. Bahwa aku sedang dalam keadaan yang sangat terpuruk saat ini. Aku tidak bisa menjadi seorang munafik yang berpura-pura senang dengan keadaan saat ini!
Sh_iLLa : It’s very hard for me, to feel happy.. Cause, my heart is broke. I’m hurt too.
Rain : I know it. But, as a good friend you must be sincere. Please Shilla, I know that you is a strong girl.. I sure you can be sincere..
Rain : Shilla, I hope you didn’t cry again.. The rain is stop, and I must go Shilla.. Bye, see you later :)
Sh_iLLa : I‘ll try..
Sh_iLLa : Bye Rain.. Thanks for everything :)
Rain : With pleasure.. :)
Rain : Hey, look out of the house! There is a beautiful rainbow that ready to be admired :)
Rain is offline
Dia pun pergi. Dengan meninggalkan pertanyaan sama. Pertanyaan yang datang saat dia telah pergi. Apakah dia seorang remaja sepertiku? Atau Mungkin dia seorang mahasiswa seperti kakakku? Aku tak tahu jawabannya. Yang aku tau dia orang yang mau mencoba mengerti keadaanku.
Aku beranjak dari kursi goyang yang berwarna putih pucat itu. Membuka tirai yang menutupi jendela kamarku, cahaya mulai berebutan masuk, meski jumlahnya tak seberapa dibandingkan jika hari telah siang. Ku buka jendela kamarku kemudian. Kacanya dipenuhi oleh sisa air hujan, mungkin juga sebagian besarnya adalah embun pagi.
Rain benar, disana di arah jarum jam 2 terdapat pelangi yang sangat indah. Seolah pelangi itu merupakan pertanda kepadaku. Bahwa hari ini harus ada perubahan. Jika di hari kemarin aku selalu mengeluh dan membiarkan masalahku semakin besar, maka saat ini aku harus mampu dan berani menghadapinya dengan sebuah ketegaran. Karena aku tau, kesempatan untuk menyelesaikan masalah tak selalu datang 2 kali. Seperti pelangi yang tak selalu datang sehabis hujan turun.
***
Aku berjalan cepat menuju kantin, rasa dahaga mulai merasuk kedalam kerongkonganku. Upacara di hari ini berjalan dengan lama, mungkin salah satu pengaruhnya adalah matahari yang bersinar cukup terik.
“Mbak.. teh kotaknya satu ya??” pesanku pada penjaga kantin. Gadis yang kelihatannya seumuran dengan kak Gabriel itu mengangguk, lalu mengambilkan pesananku di dalam kulkas berukuran kecil yag terdapat dalam kantin kecil yang ada di SMA-ku ini.
“Ini dek…” ucapnya seraya mengambil uang 10 ribuan yang ada di tangan kananku, dia berlari kecil menuju kotak uang disebelah kiri tempat snack-snack dijual. Lalu menyerahkan kembaliannya padaku.
Seorang pemuda jangkung dengan tampilan sedikit acak-acakan, sedang berdiri disana sambil mengambil beberapa snack, dan memasukkan kedalam kantong plastik. Aku sebenarnya tak mengenalnya. Namun dia –seolah– mengenalku. Yang ku tahu dia adalah kakak kelas aneh yang sungguh merupakan hama dalam kehidupanku.
“Hai Shilla..” sapanya sambil melambaikan tangan padaku. Apa-apaan sih dia? Di kantin yang ramai seperti ini bertingkah seperti anak kecil yang bertemu dengan kenalannya. Hhhh.. Apa juga maunya?
Beberapa kakak kelas perempuan menatapku tajam, seakan bertanya dalam tatapan membunuhnya “apa hubunganku dengan kakak kelas yang menyapaku layaknya anak kecil itu” –yang jujur saja aku tak mengenalnya–
Kakak kelas yang sering bersikap terlalu ramah itu berjalan menghampiriku, lalu menyerahkan kantong plastik yang isinya penuh dengan macam-macam snack itu. Dia pun mengacak rambutku pelan. Aku terdiam di tempatku, tak mengerti akan perlakuannya padaku. Hingga akhirnya aku sadar bahwa aku harus tau siapa nama kakak ini.
Ku lirik name tag yang ada di atas kantong baju SMA-nya itu. Tertulis huruf-huruf besar bertuliskan “Mario Stevano Aditya” Astaga.. Bukannya dia? Anak dari Pak Aditya seorang kepala sekolah di SMA-ku ini. Tapi mengapa dia mengenalku? Padahal jika di ingat-ingat aku tak dekat dengan satu pun kakak kelas yang ada di sekolahku ini. Tapi kalau di pikir-pikir ulang untuk yag kesekian kalinya, tak heran jika kakak ini mengenalku. Bukannya anggota KANVAS memang terkenal –kecuali aku– dengan kehebatannya masing-masing. Apalagi Ify yang baru saja terpilih menjadi gadis sampul pada suatu majalah, hal itu tentu membuat nama KANVAS semakin terkenal se-antero SMA ini.
“Aku ke kelas dulu ya” ucapnya seraya berlari kecil meninggalkan kantin. Aku masih terdiam di tempatku, memikirkan beberapa kemungkinan yang membuat dia bisa mengenalku. Apalagi sampai tau, bahwa aku memang penggemar berat snack daripada makanan lainnya yang orang-orang anggap mengenyangkan.
“Illa… jangan diem aja disitu, bentar lagi bel tau..” tiba-tiba Ify menarik lenganku dengan cepat menuju kelas. Aku masih tetap seperti orang linglung, ah dasar kakak kelas rese’ jadilah aku hilang kosentrasi barusan. Eh, tapi mengapa aku malah memikirkannya?
***
“Yang tadi siapa La?” Tanya Ify sambil menyenggol lenganku pelan. Aku berpaling dari buku tugas Fisikaku, menatap kearah Ify. Dia tersenyum sambil menaik-naikan alisnya.
“Oh, kakak kelas yang sok kenal itu?” tanyaku memastikan pada Ify. Dia kemudian tercengang, dan menatapku heran seolah ingin meminta penjelasan. Tapi bingung akan mulai darimana.
“Jadi kamu gak kenal sama dia?” Tanya Ify, sambil memangku dagunya yang lancip. Aku menggeleng cepat. Dan mengambil sebuah isi pensil dan memasukkannya pada pensil isianku.
“Lah, tapi dia kok tadi kayak yang perhatian banget sama kamu?” gumam Ify bingung. Aku tertawa kecil disela kebingungannya. Mengedikkan bahuku pelan. Lalu meneliti PR Fisika, yang sebentar lagi mungkin akan dikumpulkan.
“Tau namanya?” Ify kembali menanyaiku. Rupanya dia masih penasaran dengan kakak kelas itu. Aku menimbang sebentar, Memberitahunya kebenaran atau kebohongan. Tapi, sudahlah tak ada gunanya juga berbohong pada Ify.
“Di name tag-nya sih tertulis –Mario Stevano Aditya– dugaan aku sih, anaknya Pak Aditya” jawabku yakin. Dan, setelah mengucapkan nama itu bukan hanya Ify yang terperanjat. Namun, Agni yang kebetulan duduk di bangku depan Ify, melirikku sekilas dengan wajah kaget. Aku hanya memasang wajah innocent pada mereka berdua.
Ku lirik Agni di tempatnya, tampak gusar dan menggumamkan kata tak jelas. Wajahnya masih terlihat kaget. Ify, masih terbengong di tempatnya. Lalu semua lenyap saat Bu Indi memasuki kelas kami.
“Selamat pagi anak-anak” sapanya ramah namun sangat tegas, tangan kiri dan kanannya saling bertautan. Dia, tersenyum sambil menunggu sapaan balasan dari kami.
“Pagi Bu…” semua kompak menyerukan sapaan balasan untuk Bu Indy, yang terkenal ramah itu. Memang dia salah satu guru favorit kami. Guru yang menurut kami, sangat cerdas dalam menerangkan materi pada kami.
“Hari ini, kita kedatangan murid baru pindahan dari SMA Ribble” ujarnya masih sambil menyunggingkan senyum. Beberapa anak mulai menduga-duga siapa anak baru itu. Aku, juga ikut berfikir mengapa murid dari SMA sekolah itu sampai pindah? apakah mungkin karena itu merupakan sekolah asrama? Aku tak tahu. Mungkin bisa bertanya padanya nanti.
“Eh—Mungkin Ray murid barunya..” ujar Acha semangat dari belakang bangkuku. Aku, mengerutkan kening tertahan. Baru tahu jika Ray, adalah salah satu murid sekolah itu.
“Kalo bukan Ray juga gak pa pa sih, siapa tau dia temen deket Ray” Acha masih saja berceloteh ria, yang tampak tak di gubris oleh Sivia. Aku tertawa tertahan mendengar kemungkinan-kemungkinan lain Acha, yang tak lain semua tertuju pada Ray.
“Harap tenang anak-anak” ujar Bu Indy kemudian, “sebentar lagi Pak Irfan akan datang bersama murid baru tersebut” tambahnya lagi. Aku melirik ke samping kananku, Ify sejak tadi rupanya tak mendengarkan pemberitahuan Bu Indy. Dia sibuk memainkan HPnya.
“Hey, kamu gak dengerin Bu Indy ya?” tanyaku, sambil merampas HP BBnya itu. Dia nyengir diperlakukan seperti itu.
“Hehe, kembaliin dong La? Kan aku mau bales sms dari Alvin” ujarnya sambil mecoba merebut HPnya yang ku pegang erat. Namun dengan ucapannya, semangatku untuk menjahili Ify langsung sirna. Tiba-tiba aku merasa baru sadar dari tidur saat mendengar nama Alvin. Jujur, aku lupa sama sekali tentang hubungan mereka, selama beberapa jam yang baru ku lalui. Aku segera menyerahkan HP itu pada Ify, yang ditanggapi tatapan curiga darinya.
“Nah, ini dia teman baru kalian” ujar Bu Indy saat Pak Irfan dengan seorang anak lelaki sebaya dengan kami masuk kelas. Dia, berambut gondrong, sedikit bertubuh mungil. Tingginya mungkin hanya lebih 3cm dari tinggi Acha, tak lebih tinngi dari aku. Mengenakan jaket kulit hitam. Dia tampak tersenyum pada kami semua.
Acha, yang melihat kedatangannya langsung berdiri dari duduknya, menghampiri anak baru itu dengan wajah semangat. Eits, rupanya aku salah bukan hanya Acha yang menghampirinya namun hampir ¾ dari anak perempuan dikelasku maju ke depan kelas untuk menghampirinya.
“Oh my God.. He is Raynald…” seru Acha, ketika berdiri di depan Ray. Tanpa dikenalkan, tentu kami semua mengenalnya. Secara, dia artis ibu kota yang digilai itu.
“Kamu bener-bener Ray kan? Aku gak mimpi kan? Kamu sungguh sekelas dengan aku? Oh Tuhan, betapa baiknya engkau” Acha berceloteh ria dihadapan Ray. Ray tersenyum manis padanya, mengulurkan tangannya pada Acha tanpa menggubris gadis-gadis lain yang mengerubunginya.
“Hai kamu Acha kan?” itulah yang tercetus dari bibir Ray, saat Acha membalas uluran tangannya. Sudah bisa dipastikan, ini memang sebuah drama khas Indonesia. Acha langsung pingsan disana. Yang menimbulkan kepanikan Pak Irfan dan Bu Indy.
“Halah, gitu aja pingsan” seseorang menyeletuk dengan nada mengejek. Aku mencari sumber suara itu. Ternyata sang pengejek itu duduk di bangku paling ujung, sedang membaca buku tebal yang entah tentang apa. Pandangannya tertuju pada Acha. Pandangan tajam, dengan masih tersenyum menghina. Siapa lagi kalau bukan Ozy.
Aku, Ify, Sivia, Agni dan Zeva segera bangkit dari tempat duduk dan mengikuti Pak Irfan yang nampaknya akan membopong Acha ke UKS. Kami, ber-5 segera mengejarnya. Ray juga turut ikut berjalan bersama Bu Indy dibelakang kami.
***
Zahra, mendekatkan kapas yang sudah diberi alkohol pada Acha, beberapa saat kemudian Acha bangun. Dan tampak melihat kesekitarnya yang sudah dikerubungi oleh Aku, Ify, Sivia, Agni, Zeva, Ray dan Zahra yang kebetulan mendapat tugas jaga di UKS hari ini.
“Ray..” gumamnya tercekat saat matanya sampai pada Ray. Ray tersenyum disana. Acha mengucek matanya pelan lalu, membukanya lagi dan menoleh ke tempat Ray berada.
“Kamu kok bisa tau nama aku sih?” Tanya Acha kemudian. Aku tau dia kaget sekaligus senang. Yah, sebagai seorang penggemar pasti aku dan tentunya semua orang akan senang jika idola yang kita kagumi ternyata pindah ke sekolah kita, apalagi ini sekelas. Catat bahwa ini mungkin salah satu mukjizat indah yang diberikan Tuhan untuk sahabatku Acha.
“Kemarin salah satu admin pusat RR, yang kebetulan sepupu aku, bilang kalo ada salah satu admin pusat RR yang sekolah di SMA ini dan bakal sekelas sama aku. Dia, nyerahin foto kamu ke aku sambil ngasih tau kalo nama kamu Acha” jelas Ray singkat. Acha tersenyum mendegarnya lalu melontarkan sebuah pertanyaan lagi pada Ray.
“Beneran salah satu admin pusat sepupu kamu? Siapa Ray? Anggi? Mely? Fita? Atau malah Reta?” Acha segera bangkit dari ranjang kecil yang bersprei putih itu, ia segera berdiri di hadapan Ray.
“Ada deh, dia gak mau disebutin namanya. Mungkin gak ingin diketahui identitas aslinya” jawab Ray. Acha cemberut mendengar jawaban yang kurang memuaskan tentunya. Aku tersenyum, sambil membelai pundak Acha.
Bu Indy datang, dan tersenyum melihat Acha yang sudah siuman. Beliau kemudian menyuruh kami masuk kelas. Karena jam pelajaran sudah terbuang sia-sia karena insiden Acha yang pingsan. Ah, dasar Acha. Sahabatku yang bawel ini ada-ada saja tingkahnya.
***
“Illa…” seseorang berteriak memanggilku. Dia berlari dari tempat parkir menghampiriku. Terlihat wajahnya sudah sangat lelah, peluh sejak tadi membanjiri kulit putihnya.
“Hai kak Deva? Apa kabar?” sapaku ramah, dia tersenyum menanggapinya sambil mengatur nafas yang tampaknya berjalan tidak teratur. Kemudian dia menganggkat tangannya, yang aku sendiri tak mengerti apa maksudnya.
“Ify mana?” tanyanya kemudian, masih berusaha mengatur nafas. Aku mengedarkan pandanganku untuk menjawab pertanyaannya. Benar saja dugaanku, Ify sedang bersama Alvin di depan kelas kami. Tampak sedang berbincang renyah, dan sesekali tertawa menanggapi topik pembicaraan yang mereka lontarkan, pemandangan yang cukup miris bagiku.
“Itu kak.. Lagi bareng sama Alvin.. Hehe biasa pasangan baru, maunya nempel terus” ujarku mencoba bersikap biasa tentang hubungan Alvin dan Ify. Yah tujuan semata-mata agar kak Deva tidak mengetahui kesedihanku.
Kak Deva, memandang mengikuti arah jari telunjukku. Sejenak dia terlihat heran dengan pernyataan yang kulontarkan. Apakah dia tidak tahu bahwa sepupunya itu telah menjalin suatu hubungan istimewa dengan Alvin?
“Mereka pacaran?” tanyanya yang ternyata cukup tanggap dengan pernyataan yang kuberikan tadi. Aku mengangguk pelan sambil memberikan senyum padanya.
“Waduh.. si Ify gak bilang-bilang lo sama aku La.. Padahal kan aku ini sepupu sekaligus manager dia.. Ckck dasar anak jaman sekarang” ucapnya sambil geleng-geleng kepala.
“Belum sempet kali kak. Atau mungkin masih malu-malu yang mau bilang. Mungkin juga Ify ingin kakak tau sendiri bahwa dia sudah punya pacar” jawabku ngasal, sambil memperhatikan gerbang sekolah. Aku berharap kak Gabriel segera datang menjemputku, karenaa aku sendiri malas membicarakan hubungan Alvin dan Ify pada kak Deva.
“Ya udah deh, aku samperin langsung mereka. Udah jam berapa juga ini. Ify lagi ada proses pembuatan iklan jam 3” katanya mengakhiri pembicaraan denganku, sambil kembali berlari ke depan kelasku. X 5
“Illa, langsung ke rumahku aja yuk? Ngerjakan tugas Biologinya. Biar nanti pulangnya gak kemaleman. Kamu bareng aja sama aku, kan kamu gak tau rumah aku. Kalo Oik, Dea sama Keke, nyusul nanti jam setengah 3 langsung kerumah aku” cerocos Zahra yang tiba-tiba berada disampingku, seperti hantu saja anak ini. Aku berpikir sejenak, ada baiknya juga tawaran Zahra. Aku mengangguk mantap, lalu segera mengambil HP dan mengirimkan pesan singkat kepada kak Gabriel agar tak usah menjemputku.
***
Aku mengambil alih tugas Zahra yang sedari tadi mengetik. Dea merangkum beberapa bagian buku yang dirasa penting. Oik dan Keke mencari bahan tambahan di internet untuk nanti dipresentasikan, sedang Zahra izin ke dapur untuk mengisi ulang teko jus yang baru saja ludes. Karena kami yang kehausan.
“Perasaan tugas Biologi tuh ada melulu ya? Terus juga tugasnya gak jauh-jauh dari presentasi. Males” gerutu Oik yang kemudian selonjoran di karpet sampingku. Memperhatikanku yang sibuk dengan Power point yang sedang ku buat.
“Sebagai siswa, wajar dong kita dikasih tugas sama guru. Yang gak wajar itu kalo guru ngebiarin kita gak dapet tugas. Itu namanya guru makan gaji buta” sanggah Keke tenang, masih berkutik dengan Laptop yang memang dibawanya, berselunjur di internet untuk menambah bahan yang akan dikaji dalam presentasi nanti.
“Iya tau deh yang pinter Biologi” canda Oik, yang sama sekali tak digubris oleh Keke.
“Eh bentar— aku ada satu pertanyaan deh buat kamu Shil” Dea, tiba-tiba berhenti menulis dan memandang kearahku. Aku juga menghentikan aktifitas mengetik, dan memandang kearah Dea yang nampaknya serius.
“Kenapa?” tanyaku tenang. Dea tampak menimbang-nimbang apakah keputusannya benar menanyakan hal itu kepadaku.
“Ada masalah sama Agni ya?” tanyanya lembut. Aku tersenyum kecut mendengar pertanyaan, sebegitu terlihatnya kah bahwa aku dan Agni sedang terlibat dalam suatu masalah? Yang sebenarnya aku sendiri tak tahu apa asal usulnya.
“Enggak kok” jawabku singkat sambil kembali mengetik. Terlihat dari sudut mataku, Oik tampak mendelik pada Dea karena pertanyaan yang dilontarkan padaku. Mungkin Oik menganggap Dea terlalu mengusik masalah pribadiku, jadi dia memperingatkan pada Dea agar tak melanjutkan pertanyaan aneh-anehnya itu.
“Agni emang gitu kok. Aku udah kenal dia dari kecil. Um—Aku ingetin yah Shil, dia gak mudah benci sama orang tanpa alasan yang jelas, dan sekali udah benci sama orang susah redanya” Keke tiba-tiba angkat bicara. Aku terdiam mendengarnya, benarkah yang dikatakannya? Aku memang tau bahwa rumah Keke bersebelahan dengan rumah Agni. Setahuku dulu mereka bersahabat baik, tapi sekarang? Rival dalam bidang apa pun. Penyebabnya? Hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu.
***
Aku berkali-kali menghubungi Handphone kak Gabriel, nihil tak ada yang mengangkatnya. Bagaimana caranya aku pulang? Di luar sedang hujan deras. Dan sumpah baru kali ini aku kesal dengan kedatangan hujan. Berkali-kali aku merutuki hujan yang tak kunjung reda. Oik, Dea, dan Keke sudah pulang sejak 1 jam yang lalu. Zahra terlihat gelisah duduk disampingku. Aku pun juga sebenarnya sedang sangat kalang kabut, meski aku bersikap tenang di hadapan Zahra.
“Um—nanti biar kakak aku aja deh yang nganter kamu. Tapi nunggu dia pulang ya?” Zahra seolah membaca gerak-gerikku yang sedari tadi sibuk dengan Handphone-ku. Aku meng-iyakan saja pernyataan Zahra tanpa pikir panjang. Tiba-tiba terdengar suara mobil memasuki halaman rumah Zahra.
“Itu pasti kakak aku, ya udah keluar yuk. Biar kamu langsung pulang aja” ucap Zahra sambil membuka pintu rumahnya, aku mengikutinya dari belakang. Dan benar saja seorang pemuda yang ku temui di minimarket beberapa hari yang lalu turun dari mobilnya.
“Kakak… Anterin temen aku pulang ya. Soalnya sejak tadi orang rumahnya gak ada yang angkat telpon dari dia” pinta Zahra, ternyata dugaanku benar bahwa dia adalah kakaknya. Dia mengacak rambut Zahra pelan, lalu menyanggupi permintaan adik kecilnya itu. Tampak sebuah hubungan kakak beradik yang sangat harmonis.
“Oh ya La.. Kenalin ini kakak aku, namanya kak Cakka” ujar Zahra kemudian. Aku tersenyum padanya, dia membalas senyumku lalu membuka suara.
“Adiknya Gabriel ya?” tanyanya lembut, sambil mengusap beberapa air hujan yang menimpa wajahnya. Aku mengangguk meng-iyakan.
“Ya udah, ayo kakak antar. Kakak, nganter dia dulu ya Ra..” pamitnya pada Zahra, Zahra mengangguk menanggapinya. Dia kemudian memasuki mobilnya kembali, aku duduk disamping mobilnya. Dan beberapa detik kemudian kami melaju melewati derasnya hujan. Membelah jalan-jalan kotaku yang sepi. Mungkin karena hujan maka orang-orang malas keluar rumah. Mobil kak Cakka melaju kencang, karena jalanan memang sedang sepi. Gaya menyetirnya seperti professional, setiap tikungan yang kami lewati tak menjadi masalah dengan kecepatan mobil yang dikendarai kak Cakka. Mungkinkah dia seorang pembalap?
To be continue...